Black Moustache

Mewujudkan Ruang-Ruang Inklusif di Masyarakat


"Berbicara mengenai ruang publik yang ramah bagi penyandang disabilitas tidak hanya dilakukan dengan perencanaan dan pembangunan semata tanpa melibatkan mereka secara langsung dalam segala aspek. Keterlibatan penyandang disabilitas harus dimulai dari level perencanaan, perancangan, implementasi, hingga sampai ke tahap percobaan, monitoring dan evaluasi"

Pada tahun 2018, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lembaga Kota Kita bersama dengan UNESCO, jumlah penyandang disabilitas di Banjarmasin sebanyak 3897 jiwa. Hal ini sepertinya juga meningkat di tahun 2022 seiring dengan banyaknya hal yang terjadi 3 tahun setelahnya, terutama dampak dari pandemic Covid-19. Berdasarkan data tersebut, ada ratusan penyandang disabilitas pada setiap kelurahan yang berjumlah 52 di Banjarmasin. Dua kelurahan yang termasuk ke dalam salah satu kelurahan yang memiliki penyandang disabilitas terbanyak yaitu Pelambuan dan Kelayan Barat. Kedua kelurahan ini juga memiliki jumlah penduduk yang padat serta memiliki kondisi permukiman yang sangat padat. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap penyandang disabilitas yang tinggal di wilayah tersebut. 

Pada tahun 2021, melalui riset yang dilakukan mahasiswa dari Urban Citizenship Academy bersama dengan Kota Kita, dengan mewawancarai penyandang disabilitas dan juga lansia terkait dengan bagaimana kondisi permukiman mereka berdampak terhadap mobilitas sehari-hari. Salah satu perempuan penyandang disabilitas mengungkapkan bahwa dia sangat kesulitan untuk keluar rumah, hal ini dikarenakan beberapa faktor. Faktor utama adalah tidak layaknya jalan yang ada di gang tempat tinggalnya, adanya lobang pada jalan yang terkadang juga becek saat hujan, kemudian juga tidak adanya tiang untuk berpegangan tangan. Selain faktor tersebut, ada faktor lain yang juga diungkapkan oleh penyandang disabilitas perempuan lainnya, salah satunya yaitu stigma masyarakat yang membuat mereka enggan untuk keluar rumah. Stigma masyarakat yang masih mengakar sangat berdampak terhadap penyandang disabilitas, beberapa menjadikannya sebagai bahan ejekan, beberapa menasihati untuk di rumah saja karena keberadaan mereka cukup merepotkan orang sekitar, beberapa mengasihani dengan cara yang kurang tepat. Hal-hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian dari level terkecil di masyarakat, peran pembangunan kota yang berkelanjutan tidak dapat terwujud jika komponen-komponen terkecil di kota tidak bisa menopang keberhasilan dalam mewujudkan hal tersebut. 

Jembatan di Banjarmasin, 2021

Berbicara mengenai ruang publik yang ramah bagi penyandang disabilitas tidak hanya dilakukan dengan perencanaan dan pembangunan semata tanpa melibatkan mereka secara langsung dalam segala aspek. Keterlibatan penyandang disabilitas harus dimulai dari level perencanaan, perancangan, implementasi, hingga sampai ke tahap percobaan, monitoring dan evaluasi. Jangan sampai kita berbicara mengenai perwujudan kota yang inklusif tetapi tidak melibatkan mereka secara langsung, atau bahkan hanya melibatkan pada separuh proses saja, misal pada tahap percobaan saja. Perlu menjadi perhatian dalam menglibatkan penyandang disabilitas sejak awal tujuannya adalah untuk mengetahui terlebih dahulu apa kebutuhan dasar yang sebenarnya mereka perlukan, apa hal yang seharusnya ada dalam implementasi, bagaimana standar-standar yang diperlukan agar saat dibangun fasilitas tersebut layak pakai dan bisa berlangsung lama. Selain itu pada proses percobaan pun, informasi, aspirasi, serta komentar yang diberikan juga harus ditampung dan ditindak anjuti dengan baik oleh pemangku kepentingan. Bukan hanya menjadikan mereka objek untuk menguji kelayakan fasilitas, akan tetapi juga mendengarkan langsung apa yang membuat fasilitas tersebut belum layak untuk dipakai lalu melakukan perbaikan setelahnya. Jangan sampai hal seperti ini luput dari perhatian saat proses perencanaan fasilitas public yang inklusif, harusnya sudah ada anggaran yang disiapkan mulai dari perencanaan hingga nanti ke tahap percobaan dan butuh re-implementasi ulang. Banyak hal seperti ini terjadi karena luput dalam penglibatan peran teman-teman penyandang disabilitas di lapangan.


Selain itu, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana proses perencanaan ruang publik ramah disabilitas dan berkeadilan tadi dapat diakses oleh semua pihak tanpa terkecuali, terutama penyandang disabilitas. Melaksanakan pembangunan bukan hanya tentang rancangan bangunan saja, ada aspek-aspek yang harus diperhatikan salah satunya adalah aspek mobilitas ke lokasi tersebut. Misalnya saja membangun taman di lokasi dekat penyandang disabilitas, apakah ruang public tersebut inklusif? Apakah penyandang disabilitas mampu berjalan dengan aman dan nyaman kesana? Apakah penyandang disabilitas yang memiliki kesulitan melihat mempunyai guiding block dan petunjuk yang dapat membantu mereka? Apakah teman-teman yang tuli dapat menikmati tempat tersebut tanpa stigma apapun dari orang sekitar? Pertanyaan-pertanyaan dasar seperti ini sudah seharusnya ada di dalam pola pikir perancang dalam membangun ruang publik yang inklusif. 

Faktanya di lapangan masih banyak akses-akses jalan yang kurang memadai baik untuk penyandang disabilitas maupun untuk lansia dan ibu hamil. Kurangnya trotoar di lokasi yang padat juga membuat keamanan dan kenyamanan saat berjalan menjadi riskan, hal ini karena tidak adanya pembatas antara pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor. Ini perlu menjadi perhatian dengan mengadakan trotoar yang aksesibel di lokasi perkampungan yang memiliki jalan raya di sekitarnya. Terutama dalam membangun trotoar dengan guiding block, jangan sampai asal bangun saja tanpa memperhatikan pola guiding block tersebut, tanpa melihat dan merasakan langsung sebagai user. Tentunya di lapangan masih banyak guiding block yang tidak sesuai dengan arah, membuat penggunanya menjadi bahaya, bahkan guiding block yang bertabrakan dengan pohon secara langsung dan trotoar yang malah memiliki dua tiang putih pembatas di tengah-tengahnya yang membuat itu tidak aksesibel bagi pengguna kursi roda . Ini patut menjadi perhatian kita semua dalam melaksanakan pembangunan yang inklusif demi mendukungnya Kota yang Berkelanjutan. 


Hal-hal dasar lainnya adalah fasilitas-fasilitas publik yang ada di kota perlu mendapatkan perhatian khusus, jangan sampai kita hanya membangun ramp tanpa mengetahui kemiringan yang seharusnya. Perlu juga adanya papan pengumuman dan petunjuk untuk teman-teman yang kesulitan dalam mendengar, ini sangat membantu untuk teman-teman memperoleh informasi. Untuk teman Netra sendiri perlu adanya speaker pada tempat-tempat publik sebagai alat bantu untuk mereka dalam memperoleh informasi. Nah, ini masih perlu banyak perbaikan dalam mendukung tercapainya Tujuan Kota yang Berkelanjutan, karena berbicara soal kota yang berkelanjutan erat kaitannya dengan bagaimana menciptakan kota tersebut menjadi kota yang inklusif, kota yang aman dan nyaman untuk semua orang, kota yang dapat diakses dan memudahkan warganya dalam menikmati hak mereka atas kota itu sendiri. 

Pada segi masyarakat memang perlu waktu dalam merubah pola pikir dan perspektif tentang bagaimana cara mereka dalam berinteraksi dengan teman-teman penyandang disbailitas, akan tetapi itu bukan menjadi hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Pola pikir masyarakat dapat berubah jika ada tokoh-tokoh di masyarakat yang bisa bersama-sama merubah pola-pola yang selama ini kurang inklusif, missal sesederhana dalam penglibatan mereka pada agenda warga baik dalam kegiatan bersih-bersih, rapat RT, pemilihan umum, arisan, kegiatan keagamaan, serta kegiatan warga lainnya. Salah satu upaya ini dapat dilakukan untuk mengubah pola pikir bahwa ternyata penyandnag disabilitas itu mampu dan bisa terlibat langsung dalam masyarakat, sehingga bisa mengubah pola pikir yang tadinya merasa “tidak usah dilibatkan” menjadi “mari kita libatkan”. Perubahan di masyarakat juga menjadi komponen dalam mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sehingga tidak ada lagi yang tertinggal dan semua dapat terlibat dalam aksi partisipatif yang inklusif di masyarakat. 

Share:

0 komentar